26 Oktober 2009

Pelajaran Dari Keluarga Semut

Pukul 22.30 WIB, huh ... lelahnya. Seharian menyelesaikan pekerjaan kantor yang tak habis - habisnya. Kurebahkan tubuh di lantai depan televisi. Kubiarkan TV menyala untuk tetap menjaga agar aku tidak terlelap. Suhu yang sedikit panas memaksaku membuka kemeja dan membiarkan kulitku bersentuhan dengan sejuknya lantai.

"Aaauww ... brengsek!" gumamku tiba-tiba. Segera kutepis sesuatu yang menggigit lenganku hingga tampak titik hitam terjatuh ke lantai. Ternyata seekor semut hitam.

"Kurang ajar! Apa ia tidak mengerti kepalaku begitu penat dan tubuhku ini seperti mau hancur? Apa dia juga tidak tahu kalau aku sedang beristirahat?" pikirku seraya kembali merebahkan tubuhku. Tapi, belum sampai seluruh tubuh ini jatuh menempel lantai, "Addduuhhh!" Lagi - lagi semut kecil itu menggigitku. Kali ini punggungku yang digigitnya dan gigitannyapun lebih sakit.�Heeeh, berani sekali makhluk kecil ini," gerutuku kesal.

Ingin rasanya kulayangkan tapak tangan ini untuk membuatnya mati tak berkutik 'mejret' di lantai. Namun sebelum tanganku melayang, ia justru sudah mengacung - acungkan kepalan tangannya seperti menantangku bertinju. Kuturunkan kembali tanganku yang sudah berancang-ancang dengan jurus 'tepokan maut', kuurungkan niatku untuk menghajarnya karena kulihat mulutnya yang komat - kamit seolah mengatakan sesuatu kepadaku. Awalnya aku tidak mengerti apa yang diucapkannya, tapi lama kelamaan aku seperti memahami apa yang diucapkannya.

"Hey makhluk besar, anda menghalangi jalan saya! Apa anda tidak lihat saya sedang membawa makanan ini untuk keluarga saya di rumah ..." Rupanya ia begitu marah karena aku menghambat perjalanannya, lebih - lebih sewaktu punggungku menindihnya sehingga ia harus terpaksa menggigitku.

Akhirnya kupersilahkan ia melanjutkan perjalanannya setelah sebelumnya aku meminta maaf kepadanya. Susah payah ia membawa sisa - sisa roti bekas sarapanku pagi tadi yang belum sempat kubersihkan dari meja makan. Kadang oleng ke kanan kadang ke kiri, sesekali ia berhenti meletakkan barang bawaannya sekedar mengumpulkan tenaganya sembari membasuh peluhnya yang mulai membasahi tubuh hitamnya.

Kuikuti terus kemana ia pergi. Ingin tahu aku di pojok mana ia tinggal dari bagian rumahku ini. Ingin kutawarkan bantuan untuk membantunya membawakan makanan itu ke rumahnya, tapi aku yakin ia pasti menolaknya. Berhentilah ia di sebuah sudut di samping lemari es sebelah dapur. Di depan sebuah lubang kecil yang menganga, ia letakkan bawaannya itu dan kulihat seolah ia sedang memanggil � manggil semut-semut di dalam lubang itu. Satu, dua, tiga .... empat dan .... lima semut - semut yang tubuhnya lebih kecil dari semut yang membawa makanan itu berlarian keluar rumah menyambut dengan sukaria makanan yang dibawa semut pertama itu. Dan, eh ... satu lagi semut yang besarnya sama dengan pembawa roti keluar dari lubang. Dengan senyumnya yang manis ia mendekati si pembawa roti, menciumnya, memeluknya dan membasuh keringat yang sudah membasahi seluruh tubuh semut pembawa makanan itu.

Hmmm ... menurutku, si pembawa roti itu adalah kepala keluarga dari semut - semut yang berada di

dalam lubang tersebut. Kelima semut - semut yang lebih kecil adalah anak - anaknya sementara satu

semut lagi adalah istri si pembawa roti, itu terlihat dari perutnya yang agak buncit. "Mungkin ia sedang mengandung anak ke enamnya" pikirku.

Semut suami yang sabar, ikhlas berjuang, gigih mencari nafkah dan penuh kasih sayang. Semut istri

tawadhu' dan qonaah menerima apa adanya dengan penuh senyum setiap rizki yang dibawa oleh sang suami, juga ibu yang selalu memberikan pengertian dan mengajarkan anak-anak mereka dalam mensyukuri nikmat Tuhannya. Dan, anak - anak semut itu, subhanallah ... mereka begitu pandai berterima kasih dan menghargai pemberian ayah mereka meski sedikit. Sungguh suami yang dibanggakan, sungguh istri yang membanggakan dan sungguh anak-anak yang membuat ayah ibunya bangga.

Astaghfirullah ..., tiba - tiba tubuhku menggigil, lemas seperti tiada daya dan brukkk .... aku tersungkur. Kuciumi jalan - jalan yang pernah dilalui semut - semut itu hingga menetes beberapa titik air mataku. Teringat semua di mataku ribuan wajah semut - semut yang pernah aku hajar 'mejret' hingga mati berkalang lantai ketika mereka mencuri makananku. Padahal, mereka hanya mengambil sisa - sisa makanan, padahal yang mereka ambil juga merupakan hak mereka atas rizki yang aku terima.

Air mataku makin deras mengalir membasahi pipi, semakin terbayang tangisan - tangisan anak � anak dan istri semut - semut itu yang tengah menanti ayah dan suami mereka, namun yang mereka dapatkan bukan makanan melainkan justru seonggok jenazah.

Ya, Allah ... keluarga semut itu telah mengajarkan kepadaku tentang perjuangan hidup, tentang kesabaran, tentang harga diri yang harus dipertahankan ketika terusik, tentang bagaimana mencintai keluarga dan dicintai mereka. Mereka ajari aku caranya mensyukuri nikmat Tuhan, tentang bagaimana perlunya ikhlas, sabar, tawadhu' dan qonaah dalam hidup.

Hari - hari selanjutnya, ketika hendak merebahkan tubuh di lantai di bagian manapun rumahku aku selalu memperhatikan apakah aku menghambat dan menghalangi langkah atau jalan makhluk lainnya untuk mendapatkan rizki. Ingin rasanya aku hantarkan sepotong makanan setiap tiga kali sehari ke lubang - lubang tempat tinggal semut - semut itu. Tapi kupikir, lebih baik aku memberinya jalan atau bahkan mempermudahnya agar ia dapat memperoleh dengan keringatnya sendiri rizki tersebut, karena itu jauh lebih baik bagi mereka.

Sumber : milis IKA-Wutsqa

13 Oktober 2009

The Islamic Concept of Knowledge

by Dr. Sayyid Wahid Akhtar

While it is an open question whether an explicit and systematically worked out Islamic epistemology exists, it is undeniable that various epistemological issues have been discussed in Muslim philosophy with an orientation different from that of Western epistemology. Today attempts are being made to understand the basic epistemological issues in terms of that orientation. This is a valuable effort that deserves our interest and encouragement. However, it can be fruitful only if the practice of rigorous analysis is kept up, with close attention to the precise definitions of the various concepts involved.

With this view, an attempt is made in this paper to delineate the different shades and connotations of the term 'ilm, i.e., knowledge, in the Islamic context. It is hoped that this brief attempt will serve as a step for future groundwork for the construction of a framework for an Islamic theory of knowledge.

In the Islamic theory of knowledge, the term used for knowledge in Arabic is 'ilm, which, as Rosenthal has justifiably pointed out, has a much wider connotation than its synonyms in English and other Western languages. 'Knowledge' falls short of expressing all the aspects of 'ilm. Knowledge in the Western world means information about something, divine or corporeal, while 'ilm is an all-embracing term covering theory, action and education. Rosenthal, highlighting the importance of this term in Muslim civilization and Islam, says that it gives them a distinctive shape.

In fact there is no concept that has been operative as a determinant of the Muslim civilization in all its aspects to the same extent as 'ilm. This holds good even for the most powerful among the terms of Muslim religious life such as, for instance, tawhid "recognition of the oneness of God," ad-din, "the true religion," and many others that are used constantly and emphatically. None of them equals ilm in depth of meaning and wide incidence of use. There is no branch of Muslim intellectual life, of Muslim religious and political life, and of the daily life of the average Muslim that remains untouched by the all pervasive attitude toward "knowledge" as something of supreme value for Muslim being. 'ilm is Islam, even if the theologians have been hesitant to accept the technical correctness of this equation. The very fact of their passionate discussion of the concept attests to its fundamental importance for Islam.

It may be said that Islam is the path of "knowledge." No other religion or ideology has so much emphasized the importance of 'ilm. In the Qur'an the word 'alim has occurred in 140 places, while al-'ilm in 27. In all, the total number of verses in which 'ilm or its derivatives and associated words are used is 704. The aids of knowledge such as book, pen, ink etc. amount to almost the same number. Qalam occurs in two places, al-kitab in 230 verses, among which al-kitab for al-Qur'an occurs in 81 verses. Other words associated with writing occur in 319 verses. It is important to note that pen and book are essential to the acquisition of knowledge. The Islamic revelation started with the word iqra' ('read!' or 'recite!').

According to the Qur'an, the first teaching class for Adam started soon after his creation and Adam was taught 'all the Names'.

Allah is the first teacher and the absolute guide of humanity. This knowledge was not imparted to even the Angels. In Usul al-Kafi there is a tradition narrated by Imam Musa al-Kazim ('a) that 'ilm is of three types: ayatun muhkamah (irrefutable signs of God), faridatun 'adilah (just obligations) and sunnat al-qa'imah (established traditions of the Prophet [s]). This implies that 'ilm, attainment of which is obligatory upon all Muslims covers the sciences of theology, philosophy, law, ethics, politics and the wisdom imparted to the Ummah by the Prophet (S). Al-Ghazali has unjustifiably differentiated between useful and useless types of knowledge. Islam actually does not consider any type of knowledge as harmful to human beings. However, what has been called in the Qur'an as useless or rather harmful knowledge, consists of pseudo sciences or the lores prevalent in the Jahiliyyah.

'Ilm is of three types: information (as opposed to ignorance), natural laws, and knowledge by conjecture. The first and second types of knowledge are considered useful and their acquisition is made obligatory. As for the third type, which refers to what is known through guesswork and conjecture, or is accompanied with doubt, we shall take that into consideration later, since conjecture or doubt are sometimes essential for knowledge as a means, but not as an end.

Beside various Qur'anic verses emphasizing the importance of knowledge, there are hundreds of Prophetic traditions that encourage Muslims to acquire all types of knowledge from any corner of the world. Muslims, during their periods of stagnation and decline, confined themselves to theology as the only obligatory knowledge, an attitude which is generally but wrongly attributed to al-Ghazali's destruction of philosophy and sciences in the Muslim world. Al-Ghazali, of course, passed through a turbulent period of skepticism, but he was really in search of certainty, which he found not in discursive knowledge but in mystic experience. In his favour it must be said that he paved the way for liberating the believer from blind imitation and helping him approach the goal of certain knowledge.

In the Islamic world, gnosis (ma'rifah) is differentiated from knowledge in the sense of acquisition of information through a logical processes. In the non-Islamic world dominated by the Greek tradition, hikmah (wisdom) is considered higher than knowledge. But in Islam 'ilm is not mere knowledge. It is synonymous with gnosis (ma'rifah). Knowledge is considered to be derived from two sources: 'aql and 'ilm huduri (in the sense of unmediated and direct knowledge acquired through mystic experience).

It is important to note that there is much emphasis on the exercise of the intellect in the Qur'an and the traditions, particularly in the matter of ijtihad. In the Sunni world qiyas (the method of analogical deduction as propounded by Imam Abu Hanifah) is accepted as an instrument of ijtihad, but his teacher and spiritual guide, Imam Ja'far al-Sadiq ('a), gave pre-eminence to 'aql in this matter. In the entire Shi'i literature of fiqh and usul al-fiqh, 'aql is much more emphasized, because qiyas is only a form of quasi-logical argument, while 'aql embraces all rational faculties of human beings. Even intuition or mystic experience are regarded as a higher stage of 'aql. In Shi'i literature in particular, and Sunni literature in general, 'aql is considered to be a prerequisite for knowledge. Starting from Usul al-Kafi, all Shi'i compendia of hadith devote their first chapter to the merits of 'aql and the virtues of 'ilm. In Sunni compendia of hadith, including al-Sihah al-sittah and up to al-Ghazali's Ihya, a chapter is devoted to this issue, though it is not given a first priority. This shows that there is a consensus among the Muslims on the importance of 'aql which is denoted by such words as ta'aqqul, tafaqquh and tadabbur in the Qur'an.

Exercise of the intellect ('aql) is of significance in the entire Islamic literature which played an important role in the development of all kinds of knowledge, scientific or otherwise, in the Muslim world. In the twentieth century, the Indian Muslim thinker, Iqbal in his Reconstruction of Religious Thought in Islam, pointed out that ijtihad was a dynamic principle in the body of Islam. He claims that much before Francis Bacon the principles of scientific induction were emphasized by the Qur'an, which highlights the importance of observation and experimentation in arriving at certain conclusions. It may also be pointed out that Muslim fuqaha and mufassirun made use of the method of linguistic analysis in interpreting the Quranic injunctions and the sunnah of the Prophet (S). Al-Ghazalis Tahatut al-falasifah is probably the first philosophical treatise that made use of the linguistic analytical method to clarify certain philosophical issues. I personally feel that he is rather maligned than properly understood by both the orthodox and liberal Muslim interpreters of his philosophy. His method of doubt paved the way for a healthy intellectual activity in the Muslim world, but because of historical and social circumstances, it culminated in the stagnation of philosophical and scientific thinking, which later made him a target of criticism by philosophers.

There was made a distinction between wisdom (hikmah) and knowledge in the pre-Islamic philosophy developed under the influence of Greek thought. In Islam there is no such distinction. Those who made such a distinction led Muslim thought towards un-Islamic thinking. The philosophers such as al-Kindi, al-Farabi and Ibn Sina are considered to be hakims (philosophers) and in this capacity superior to 'ulama', and fuqaha This misconception resulted in al-Ghazali's attack on the philosophers. Islam is a religion that invites its followers to exercise their intellect and make use of their knowledge to attain the ultimate truth (haqq). Muslim thinkers adopted different paths to attain this goal. Those who are called philosophers devoted themselves to logic and scientific method and they were derogated by the Sufis, though some of them, such as Ibn Sina, al-Farabi and al-Ghazali took recourse to the mystic path in their quest of the truth at some stage. As I said earlier, 'ilm may not be translated as mere knowledge; it should be emphasized that it is also gnosis or ma'rifah. One may find elements of mystic experience in the writings of Muslim philosophers. In Kashf al-mahjub of al-Hujwiri a distinction is made between khabar (information) and nazar (analytic thought). This applies not only to Muslim Sufis but also to most of the Muslim philosophers who sought to attain the ultimate knowledge which could embrace all things, corporeal or divine. In the Western philosophical tradition there is a distinction between the knowledge of the Divine Being and knowledge pertaining to the physical world. But in Islam there is no such distinction. Ma'rifah is ultimate knowledge and it springs from the knowledge of the self (Man 'arafa nafsahu fa qad 'arafa Rabbbahu, 'One who realizes one's own self realizes his Lord'). This process also includes the knowledge of the phenomenal world. Therefore, wisdom and knowledge which are regarded as two different things in the non-Muslim world are one and the same in the Islamic perspective.

In the discussion of knowledge, an important question arises as to how one can overcome his doubts regarding certain doctrines about God, the universe, and man. It is generally believed that in Islam, as far as belief is concerned, there is no place for doubting and questioning the existence of God, the prophethood of Hadrat Muhammad (S) and the Divine injunctions, that Islam requires unequivocal submission to its dictates. This general belief is a misconception in the light of Islam's emphasis on 'aql. In the matter of the fundamentals of faith (usu-l al-Din), the believer is obliged to accept tawhid, nubuwwah and ma'd (in the Shi'i faith, 'adl, i.e. Divine Justice, and imamah are also fundamentals of faith) on rational grounds or on the basis of one's existential experience. This ensures that there is room for doubt and skepticism in Islam before reaching certainty in Iman. The sufis have described iman as consisting of three stages: 'ilm al-yaqin (certain knowledge),'ayn al-yaqin (knowledge by sight) and haqq al-yaqin (knowledge by the unity of subject and object). The last stage is attainable by an elect few.

'Ilm is referred to in many Quranic verses as 'light' (nur), and Allah is also described as the ultimate nur. it means that 'ilm in the general sense is synonymous with the 'light' of Allah. This light does not shine for ever for all the believers. If is hidden sometimes by the clouds of doubt arising from the human mind. Doubt is sometimes interpreted in the Quran as darkness, and ignorance also is depicted as darkness in a number of its verses. Allah is depicted as nur, and knowledge is also symbolized as nur. Ignorance is darkness and ma'rifah is light. In the ayat al-kursi Allah says: (Allah is the Light of the heavens and the earth ... Allah is the Master of the believers and He guides them out of the darkness into light). Usually darkness is interpreted as unbelief and light as faith in God. There are so many verses in the Quran as well as the traditions of the Prophet (S) that emphasize that light may be attained by those who struggle against darkness.

Among Muslim philosophers, particularly some Mu'tazilites, like Nazzam, al-Jahiz, Aba Hashim al-Jubbai and others, adopted the path of skepticism. Al-Ghazali was the most eminent among Muslim philosophers who, in his spiritual auto-biography, al-Munqidh min al-dalal, elaborated the path of skepticism which he travelled to attain the ultimate truth. There have been some Muslim thinkers, like Abu Hashim al-Jubba'i, al-Baqillanis al-Nazzam and others, who advocated skepticism in order to arrive at certain religious faith. Skepticism is a philosophy that has three different meanings: denial of all knowledge, agnosticism, and a method to approach certainty. Most of the Muslims philosophers sought the goal of certainty. Skepticism in the general sense of the impossibility of knowledge is not compatible with Islamic teachings. It is acceptable only when it leads from uncertainty to certainty. The skeptical method has two aspects, rejection of all absolute knowledge, and acceptance of the path to overcome uncertainty. Muslim philosophers have followed the second path, because there has been an emphasis on rejecting blind faith. Shaykh al-Mufid (an eminent Shi'i faqih) said that there was a very narrow margin between faith and disbelief in so far as the believer imitated certain theologians. In his view, an imitator is on the verse of unbelief (kufr).

In Islam 'ilm is not confined to the acquisition of knowledge only, but also embraces socio-political and moral aspects. Knowledge is not mere information; it requires the believers to act upon their beliefs and commit themselves to the goals which Islam aims at attaining. In brief, I would like to say that the theory of knowledge in the Islamic perspective is not just a theory of epistemology. It combines knowledge, insight, and social action as its ingredients. I would like to cite here a tradition of the Prophet (S) narrated by Amir al-Mu'minin 'Ali ibn Abi Talib: Once Gabriel came to Adam. He brought with him faith, morality (haya') and 'aql (reason) and asked him to choose one of the three. When he chose 'aql, the others were told by Gabriel to return to heaven, They said that they were ordered by Allah to accompany 'aql wherever it remained. This indicates how comprehensive are the notions of intellect and knowledge in Islam, and how deeply related they are to faith and the moral faculty.

The all-round development of various branches of knowledge pertaining to physical and social phenomena, as well as the process of logical argumentation for justification of Islamic doctrine and deduction of Islamic laws (ahkam) with reference to Qur'anic injunctions and the Prophetic tradition, is indebted to Islam's notion of 'ilm. Scientific knowledge, comprising natural and physical sciences, was sought and developed by Muslim scientists and mathematicians vigorously from the beginning of the last decades of the first century of Hijrah. The scientific endeavour found its flowering period with the establishment of the Bayt al-Hikmah in the reign of al-Ma'mun. Undoubtedly the major contributions in philosophy and sciences were made by Iranians, but the myth created by the orientalists that the fundamental sources of Islam, viz. the Qur'an and Sunnah, did not contain scientific and philosophical ideas is totally false. As said earlier, not only the Qur'an and hadith encouraged Muslims or rather made it obligatory for them to pursue truth freely from all possible sources, but also contained certain guiding principles that could provide a secure foundation for the development of religious and secular sciences. Some Prophetic traditions even give priority to learning over performing supererogatory rites of worship. There are several traditions that indicate that a scholar's sleep is more valuable than an ignorant believer's journey for pilgrimage (hajj) and participation in holy war, and that the drops of a scholar's ink are more sacred than the blood of a martyr. Amir al-Mu'minin 'Ali ('a) said that the reward for piety in the other world would be bestowed upon a believer in proportion to the degree of his intellectual development and his knowledge.

Islam never maintained that only theology was useful and the empirical sciences useless or harmful. This concept was made common by semi-literate clerics or by the time servers among them who wanted to keep common Muslims in the darkness of ignorance and blind faith so that they would not be able to oppose unjust rulers and resist clerics attached to the courts of tyrants. This attitude resulted in the condemnation of not only empirical science but also 'ilm al-kalam and metaphysics, which resulted in the decline of Muslims in politics and economy. Even today large segments of Muslim society, both the common man and many clerics suffer from this malady. This unhealthy and anti-knowledge attitude gave birth to some movements which considered elementary books of theology as sufficient for a Muslim, and discouraged the assimilation or dissemination of empirical knowledge as leading to the weakening of faith.

Apart from Shaykh al-Mufid and other Shi'i scholars, a number of classical Sunni fuqaha and 'ulama,' even those considered to be conservative, like Ibn Taymiyyah and Ibn Qayyim al-Jawziyyah, regarded emulation or imitation (taqlid) as religiously unauthorized and harmful. Jalal al-Din al-Suyuti held that taqlid was forbidden by both the salaf and the khalaf (early and later generations of scholars). He cited al-Shafi'i's opposition to taqlid. Ibn Hazm followed the same line. These and many other fuqaha' and theologians emphasized the exercise of 'aql and ijtihad as obligatory for the believers. Imam 'Ali ('a) gave a place of pride to reason even in the matters of religion. Abu 'Ala' al-Ma'arri believed that there was no imam except reason. Thus it is obvious that the Shi'ah and Sunnis, not withstanding their differences on several issues, agreed on the role of reason and the necessity of ijtihad. It is unfortunate that some recent movements of Islamic resurgence in the Sunni world, e.g. Egypt, Saudi Arabia, Morocco, Algeria, Sudan etc., are opposed to reason and preach emulation, distorting the role of ijtihad and disregarding even major Salafi theologians. This attitude, they do not realize, is self-contradictory and self defeating for their own cause. It is a good sign that apart from the rejection of 'aql in recent times by some Sunni quarters, attempts have been made and are still being made to revive the practice of ijtihad and combining social, scientific and secular knowledge with the teaching of theology, fiqh, usul al-fiqh, hadith, 'ilm al-rijal, kalam and tafsir, whose acquisition is essential for ijtihad in the matters pertaining to the faith and its practice.

Another myth propagated by the orientalists, that the Arab mind was not akin to philosophizing and that it was the Aryan mind, i.e. of the Iranians, which introduced philosophy in the Muslim world, is equally unfounded and a conspiracy against the history of Muslim philosophy and its significant contribution to the development of sciences which not only benefited Muslim world but also contributed to the enrichment of human learning, culture and civilization. Ironically, despite the claim that the Aryan mind introduced philosophical and scientific thinking and research, Muslim philosophy is called 'Arab philosophy' by the orientalists, implying a contradiction inherent in their prejudice against the Semites. In Islam-of course, after the Qur'an and the Prophet's hadith-'Ali's sermons and letters, later collected under the title of Nahj al-halaghah, contained the seeds of philosophical and scientific inquiry, and he was an Arab. Similarly, the Mu'tazilah, known as the first rationalists among Muslims, consisted of Arabs. Even the officially recognized first Muslim philosopher, al-Kindi, was an Arab.

After the decline of philosophical and scientific inquiry in the Muslim east, philosophy and sciences flourished in the Muslim west due to endeavours of the thinkers of Arab origin like Ibn Rushd, Ibn Tufayl, Ibn Bajah, and Ibn Khaldun, the father of sociology and philosophy of history. Ibn Khaldun's philosophy of history and society is the flowering of early work by Muslim thinkers in the spheres of ethics and political science such as those of Miskawayh, al-Dawwani, and Nasir al-Din al-Tusi. The credit for giving serious attention to socio-political philosophy goes to al-Farabi, who wrote books on these issues under the titles of Madinat al-fadilah, Ara' ahl al-madinat al-fadilah, al-Millah al-fadilah, Fusul al-madang, Sirah Fadilah, K. al-Siyasah al-madaniyyah, etc.

Muslims never ignored socio-political economic and other problems pertaining to the physical as well as social reality. They contributed richly to human civilization and thought by their bold and free inquiry in various areas of knowledge even at the risk of being condemned as heretics or rather unbelievers. True and firm believers in Islamic creed, like al-Ghazali, Ibn Rushd, Ibn Bajah, al-Haytham, Ibn 'Arabi and Mulla Sadra, and in recent times Sayyid Ahmad Khan, Iqbal and al-Mawdudi were not spared fatwas of kufr by the partisans of blind imitation who were hostile to the principle of ijtihad, research and critical thought.

Along with the Muslim astronomers, mathematicians, natural scientists and physicians like Ibn Sina, Zakariyya al-Razi, and others who were instrumental in the development of human knowledge and civilization, it would be unjust not to mention the significant contribution of Ikhwan al-Safa (The Brethren Purity) a group of Shi'i-Ismaili scholars and thinkers who wrote original treatises on various philosophical and scientific subjects, an effort which signifies the first attempt to compile an encyclopedia in the civilized world.

In brief, it may be justifiably claimed that the Islamic theory of knowledge was responsible for blossoming of a culture of free inquiry and rational scientific thinking that also encompassed the spheres of both theory and practice.


Index of articles from Al-Tawhid

posted by gunawan
sumber: http://www.al-islam.org/al-tawhid/islam-know-conc.htm

12 Oktober 2009

The Goals of Education in Islam

The Goals of Education in Islam

Knowledge has no limits. The profound book of nature is so rich in content and meaning that if the history of human thought continues for ever, this book is not likely to be read to its end. The Qur’an, too, is like the rich and profound book of nature, with the difference that the Quran is articulate and fluent while nature is silent. But its content and resources are equally inexhaustible, and will ever remain as fresh. Every day it conveys a new message to the humanity. Quran Recitation itself broadens and sharpens the mind of humans.
Education has the ultimate importance in Islam, and every Muslim should seek knowledge complying with the words of the Prophet (S.A.W):

Seek knowledge from the cradle to the grave.
And:
Seek knowledge even [if it is to be found in a place as distant as China.

The Muslims are pioneers in setting up the system of formal education, Muslims started the concept of Islamic Schools and in education Muslims are responsible for developing the sciences of physics and chemistry. Those were Muslims who first taught these sciences to others and later on other people made expansions in these fields.
The main goal of education in Islam is not only to get a good job or to earn a lot of money but to gain more knowledge, serve for the humanity and do something for the amelioration of mankind.

Islam

Islam (Arab: al-islām, الإسلام Bunyi dengarkan: "berserah diri kepada Tuhan") adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah. Agama ini termasuk agama samawi (agama-agama yang dipercaya oleh para pengikutnya diturunkan dari langit) dan termasuk dalam golongan agama Ibrahim. Dengan lebih dari satu seperempat milyar orang pengikut di seluruh dunia [1][2], menjadikan Islam sebagai agama terbesar kedua di dunia setelah agama Kristen.[3] Islam memiliki arti "penyerahan", atau penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan (Arab: الله, Allāh).[4] Pengikut ajaran Islam dikenal dengan sebutan Muslim yang berarti "seorang yang tunduk kepada Tuhan"[5][6], atau lebih lengkapnya adalah Muslimin bagi laki-laki dan Muslimat bagi perempuan. Islam mengajarkan bahwa Allah menurunkan firman-Nya kepada manusia melalui para nabi dan rasul utusan-Nya, dan meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa Muhammad adalah nabi dan rasul terakhir yang diutus ke dunia oleh Allah.

Aspek Kebahasaan

Kata Islam merupakan penyataan kata nama yang berasal dari akar triliteral s-l-m, dan didapat dari tatabahasa bahasa Arab Aslama, yaitu bermaksud "untuk menerima, menyerah atau tunduk." Dengan demikian, Islam berarti penerimaan dari dan penundukan kepada Tuhan, dan penganutnya harus menunjukkan ini dengan menyembah-Nya, menuruti perintah-Nya, dan menghindari politheisme. Perkataan ini memberikan beberapa maksud dari al-Qur’an. Dalam beberapa ayat, kualitas Islam sebagai kepercayaan ditegaskan: "Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam..."[7] Ayat lain menghubungkan Islām dan dīn (lazimnya diterjemahkan sebagai "agama"): "...Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu."[8] Namun masih ada yang lain yang menggambarkan Islam itu sebagai perbuatan kembali kepada Tuhan-lebih dari hanya penyataan pengesahan keimanan.[9]

Secara etimologis kata Islam diturunkan dari akar yang sama dengan kata salām yang berarti “damai”. Kata 'Muslim' (sebutan bagi pemeluk agama Islam) juga berhubungan dengan kata Islām, kata tersebut berarti “orang yang berserah diri kepada Allah" dalam bahasa Indonesia.

Kepercayaan

Kepercayaan dasar Islam dapat ditemukan pada dua kalimah shahādatāin ("dua kalimat persaksian"), yaitu "Laa ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah" — yang berarti "Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan Allah". Adapun bila seseorang meyakini dan kemudian mengucapkan dua kalimat persaksian ini, berarti ia sudah dapat dianggap sebagai seorang Muslim atau mualaf (orang yang baru masuk Islam dari kepercayaan lamanya).

Kaum Muslim percaya bahwa Allah mewahyukan al-Qur'an kepada Muhammad, Penutup segala Nabi Allah (khataman-nabiyyin), dan menganggap bahwa al-Qur'an dan Sunnah (kata dan amalan Muhammad) sebagai sumber fundamental Islam.[10] Mereka tidak menganggap Muhammad sebagai pengasas agama baru, melainkan sebagai pembaharu dari keimanan monoteistik dari Ibrahim, Musa, Isa, dan nabi lainnya (untuk lebih lanjutnya, silakan baca artikel mengenai Para nabi dan rasul dalam Islam). Tradisi Islam menegaskan bahwa agama Yahudi dan Kristen telah membelokkan wahyu yang Tuhan berikan kepada nabi-nabi ini dengan mengubah teks atau memperkenalkan intepretasi palsu, ataupun kedua-duanya.[11]

Umat Islam juga meyakini al-Qur'an sebagai kitab suci dan pedoman hidup mereka yang disampaikan oleh Allah kepada Muhammad. melalui perantara Malaikat Jibril yang sempurna dan tidak ada keraguan di dalamnya (Al-Baqarah [2]:2). Allah juga telah berjanji akan menjaga keotentikan al-Qur'an hingga akhir zaman dalam suatu ayat.

Adapun sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur'an, umat Islam juga diwajibkan untuk mengimani kitab suci dan firman-Nya yang diturunkan sebelum al-Qur'an (Zabur, Taurat, Injil, dan suhuf atau lembaran Ibrahim) melalui nabi dan rasul terdahulu adalah benar adanya [12]. Umat Islam juga percaya bahwa selain al-Qur'an, seluruh firman Allah terdahulu telah mengalami perubahan oleh manusia. Mengacu pada kalimat di atas, maka umat Islam meyakini bahwa al-Qur'an adalah satu-satunya kitab Allah yang benar-benar asli dan sebagai penyempurna kitab-kitab sebelumnya.

Profil Muslim di Indonesia

Umat Islam juga percaya bahwa agama yang dianut oleh seluruh nabi dan rasul utusan Allah sejak masa Adam adalah agama tauhid, dengan demikian tentu saja Ibrahim juga menganut ketauhidan maka menjadikannya seorang muslim.[13][14] Pandangan ini meletakkan Islam bersama agama Yahudi dan Kristen dalam rumpun agama yang mempercayai Nabi Ibrahim as. Di dalam al-Qur'an, penganut Yahudi dan Kristen sering disebut sebagai Ahli Kitab atau Ahlul Kitab.

Hampir semua Muslim tergolong dalam salah satu dari dua mazhab terbesar, Sunni (85%) dan Syiah (15%). Perpecahan terjadi setelah abad ke-7 yang mengikut pada ketidaksetujuan atas kepemimpinan politik dan keagamaan dari komunitas Islam ketika itu. Islam adalah agama pradominan sepanjang Timur Tengah, juga di sebagian besar Afrika dan Asia. Komunitas besar juga ditemui di Cina, Semenanjung Balkan di Eropa Timur dan Rusia. Terdapat juga sebagian besar komunitas imigran Muslim di bagian lain dunia, seperti Eropa Barat. Sekitar 20% Muslim tinggal di negara-negara Arab,[15] 30% di subbenua India dan 15.6% di Indonesia, negara Muslim terbesar berdasar populasi.[16]

Lima Rukun Islam

Islam memberikan banyak amalan keagamaan. Para penganut umumnya digalakkan untuk memegang Lima Rukun Islam, yaitu lima pilar yang menyatukan Muslim sebagai sebuah komunitas.[17] Tambahan dari Lima Rukun, hukum Islam (syariah) telah membangun tradisi perintah yang telah menyentuh pada hampir semua aspek kehidupan dan kemasyarakatan. Tradisi ini meliputi segalanya dari hal praktikal seperti kehalalan, perbankan, jihad dan zakat.[18]

Isi dari kelima Rukun Islam itu adalah:

  1. Mengucap dua kalimah syahadat dan meyakini bahwa tidak ada yang berhak ditaati dan disembah dengan benar kecuali Allah saja dan meyakini bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul Allah.
  2. Mendirikan shalat wajib lima kali sehari.
  3. Berpuasa pada bulan Ramadhan.
  4. Membayar zakat.
  5. Menunaikan ibadah haji bagi mereka yang mampu.

Enam Rukun Iman

Muslim juga mempercayai Rukun Iman yang terdiri atas 6 perkara yaitu:

  1. Iman kepada Allah
  2. Iman kepada malaikat Allah
  3. Iman kepada kitab-kitab Allah (Al-Qur'an, Injil, Taurat, Zabur, suhuf Ibrahim)
  4. Iman kepada nabi dan rasul Allah
  5. Iman kepada hari kiamat
  6. Iman kepada qada dan qadar

Doktrin Islam

Hampir semua Muslim tergolong dalam salah satu dari dua mazhab terbesar, Sunni (85%) dan Syiah (15%). Perpecahan terjadi setelah abad ke-7 yang mengikut pada ketidaksetujuan atas kepemimpinan politik dan keagamaan dari komunitas Islam ketika itu. Islam adalah agama pradominan sepanjang Timur Tengah, juga di sebahagian besar Afrika dan Asia. Komunitas besar juga ditemui di Cina, Semenanjung Balkan di Eropa Timur dan Rusia. Terdapat juga sebagian besar komunitas imigran Muslim di bagian lain dunia, seperti Eropa Barat. Sekitar 20% Muslim tinggal di negara-negara Arab,[19] 30% di subbenua India dan 15.6% di Indonesia, adalah negara Muslim terbesar berdasarkan populasinya.[20]

Negara dengan mayoritas pemeluk Islam Sunni adalah Indonesia, Arab Saudi, dan Pakistan sedangkan negara dengan mayoritas Islam Syi'ah adalah Iran dan Irak. Doktrin antara Sunni dan Syi'ah berbeda pada masalah imamah (kepemimpinan) dan peletakan Ahlul Bait (keluarga keturunan Muhammad). Namun secara umum, baik Sunni maupun Syi'ah percaya pada rukun Islam dan rukun iman walaupun dengan terminologi yang berbeda.

Allah

Konsep Islam teologikal fundamental ialah tauhid-kepercayaan bahwa hanya ada satu Tuhan. Istilah Arab untuk Tuhan ialah Allāh; kebanyakan ilmuwan percaya kata Allah didapat dari penyingkatan dari kata al- (si) dan ʾilāh ' (dewa, bentuk maskulin), bermaksud "Tuhan" (al-ilāh '), tetapi yang lain menjejakkan asal usulnya dari Arami Alāhā.[21] Kata Allah juga adalah kata yang digunakan oleh orang Kristen (Nasrani) dan Yahudi Arab sebagai terjemahan dari ho theos dari Perjanjian Baru dan Septuaginta. Yang pertama dari Lima Rukun Islam, tauhid dituangkan dalam syahadat (pengakuan), yaitu bersaksi:

لا إله إلا الله محمد رسول الله

Tiada Tuhan Melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah

Konsep tauhid ini dituangkan dengan jelas dan sederhana pada Surah Al-Ikhlas yang terjemahannya adalah:

  1. Katakanlah: "Dia-lah Allah (Tuhan), Yang Maha Esa,
  2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu,
  3. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan,
  4. dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."

Nama "Allah" tidak memiliki bentuk jamak dan tidak diasosiasikan dengan jenis kelamin tertentu. Dalam Islam sebagaimana disampaikan dalam al-Qur'an dikatakan:

"(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat". (Asy-Syu'ara' [42]:11)

Allah adalah Nama Tuhan (ilah) dan satu-satunya Tuhan sebagaimana perkenalan-Nya kepada manusia melalui al-Quran :

"Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku". (Ta Ha [20]:14)

Pemakaian kata Allah secara linguistik mengindikasikan kesatuan. Umat Islam percaya bahwa Tuhan yang mereka sembah adalah sama dengan Tuhan umat Yahudi dan Nasrani, dalam hal ini adalah Tuhan Ibrahim. Namun, Islam menolak ajaran Kristen menyangkut paham Trinitas dimana hal ini dianggap Politeisme.

Mengutip al-Qur'an, An-Nisa' [4]:71:

"Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agama dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya al-Masih, Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan kalimat-Nya) yang disampaikannya kepada Maryam dan (dengan tiupan ) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Dan janganlah kamu mengatakan :"Tuhan itu tiga", berhentilah dari ucapan itu. Itu lebih baik bagi kamu. Sesungguhnya Allah Tuhan yang Maha Esa. Maha suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah sebagai Pemelihara".

Dalam Islam, visualisasi atau penggambaran Tuhan tidak dapat dibenarkan, hal ini dilarang karena dapat berujung pada pemberhalaan dan justru penghinaan, karena Tuhan tidak serupa dengan apapun (Asy-Syu'ara' [42]:11). Sebagai gantinya, Islam menggambarkan Tuhan dalam 99 nama/gelar/julukan Tuhan (asma'ul husna) yang menggambarkan sifat ketuhanan-Nya sebagaimana terdapat pada al-Qur'an.

Al-Qur'an

Al-Fatihah merupakan surah pertama dalam Al-Qur'an

Al-Qur'an adalah kitab suci ummat Islam yang diwahyukan Allah kepada Muhammad melalui perantaraan Malaikat Jibril. Secara harfiah Qur'an berarti bacaan. Namun walau terdengar merujuk ke sebuah buku/kitab, ummat Islam merujuk Al-Qur'an sendiri lebih pada kata-kata atau kalimat di dalamnya, bukan pada bentuk fisiknya sebagai hasil cetakan.

Umat Islam percaya bahwa Al-Qur'an disampaikan kepada Muhammad melalui malaikat Jibril. Penurunannya sendiri terjadi secara bertahap antara tahun 610 hingga hingga wafatnya beliau 632 M. Walau Al-Qur'an lebih banyak ditransfer melalui hafalan, namun sebagai tambahan banyak pengikut Islam pada masa itu yang menuliskannya pada tulang, batu-batu dan dedaunan.

Umat Islam percaya bahwa Al-Qur'an yang ada saat ini persis sama dengan yang disampaikan kepada Muhammad, kemudian disampaikan lagi kepada pengikutnya, yang kemudian menghapalkan dan menulis isi Al Qur'an tersebut. Secara umum para ulama menyepakati bahwa versi Al-Qur'an yang ada saat ini, pertama kali dikompilasi pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan (khalifah Islam ke-3) yang berkisar antara 650 hingga 656 M. Utsman bin Affan kemudian mengirimkan duplikat dari versi kompilasi ini ke seluruh penjuru kekuasaan Islam pada masa itu dan memerintahkan agar semua versi selain itu dimusnahkan untuk keseragaman.[22]

Al-Qur'an memiliki 114 surah , dan sejumlah 6.236 ayat (terdapat perbedaan tergantung cara menghitung).[23] Hampir semua Muslim menghafal setidaknya beberapa bagian dari keseluruhan Al-Qur'an, mereka yang menghafal keseluruhan Al-Qur'an dikenal sebagai hafiz (jamak:huffaz). Pencapaian ini bukanlah sesuatu yang jarang, dipercayai bahwa saat ini terdapat jutaan penghapal Al-Qur'an diseluruh dunia. Di Indonesia ada lomba Musabaqah Tilawatil Qur'an yaitu lomba membaca Al-Qur'an dengan tartil atau baik dan benar. Yang membacakan disebut Qari (pria) atau Qariah (wanita).

Muslim juga percaya bahwa Al-Qur'an hanya berbahasa Arab. Hasil terjemahan dari Al-Qur'an ke berbagai bahasa tidak merupakan Al-Qur'an itu sendiri. Oleh karena itu terjemahan hanya memiliki kedudukan sebagai komentar terhadap Al-Qur'an ataupun hasil usaha mencari makna Al-Qur'an, tetapi bukan Al-Qur'an itu sendiri.

Nabi Muhammad

Muhammad (570-632) adalah nabi terakhir dalam ajaran Islam dimana mengakui kenabiannya merupakan salah satu syarat untuk dapat disebut sebagai seorang muslim (lihat syahadat). Dalam Islam Muhammad tidak diposisikan sebagai seorang pembawa ajaran baru, melainkan merupakan penutup dari rangkaian nabi-nabi yang diturunkan sebelumnya.

Terlepas dari tingginya statusnya sebagai seorang Nabi, Muhammad dalam pandangan Islam adalah seorang manusia biasa. Namun setiap perkataan dan perilaku dalam kehidupannya dipercayai merupakan bentuk ideal dari seorang muslim. Oleh karena itu dalam Islam dikenal istilah hadits yakni kumpulan perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan Muhammad. Hadits adalah teks utama (sumber hukum) kedua Islam setelah Al Qur'an.

Sejarah

Masa sebelum kedatangan Islam

Jazirah Arab sebelum kedatangan agama Islam merupakan sebuah kawasan perlintasan perdagangan dalam Jalan Sutera yang menjadikan satu antara Indo Eropa dengan kawasan Asia di timur. Kebanyakan orang Arab merupakan penyembah berhala dan ada sebagian yang merupakan pengikut agama-agama Kristen dan Yahudi. Mekkah adalah tempat yang suci bagi bangsa Arab ketika itu, karena di sana terdapat berhala-berhala agama mereka, telaga Zamzam, dan yang terpenting adalah Ka'bah. Masyarakat ini disebut pula Jahiliyah atau dalam artian lain bodoh. Bodoh disini bukan dalam intelegensianya namun dalam pemikiran moral. Warga Quraisy terkenal dengan masyarakat yang suka berpuisi. Mereka menjadikan puisi sebagai salah satu hiburan disaat berkumpul di tempat-tempat ramai.

Masa awal

Negara-negara dengan populasi Muslim mencapai 10% (hijau dengan dominan sunni, merah dengan dominan syi'ah) (Sumber - CIA World Factbook, 2004).

Islam bermula pada tahun 611 ketika wahyu pertama diturunkan kepada rasul yang terakhir yaitu Muhammad bin Abdullah di Gua Hira', Arab Saudi.

Muhammad dilahirkan di Mekkah pada tanggal 12 Rabiul Awal Tahun Gajah (571 masehi). Ia dilahirkan ditengah-tengah suku Quraish pada zaman jahiliyah, dalam kehidupan suku-suku padang pasir yang suka berperang dan menyembah berhala. Muhammad dilahirkan dalam keadaan yatim, sebab ayahnya Abdullah wafat ketika ia masih berada di dalam kandungan. Pada saat usianya masih 6 tahun, ibunya Aminah meninggal dunia. Sepeninggalan ibunya, Muhammad dibesarkan oleh kakeknya Abdul Muthalib dan dilanjutkan oleh pamannya yaitu Abu Talib. Muhammad kemudian menikah dengan seorang janda bernama Siti Khadijah dan menjalani kehidupan secara sederhana.

Ketika Muhammad berusia 40 tahun, ia mulai mendapatkan wahyu yang disampaikan Malaikat Jibril, dan sesudahnya selama beberapa waktu mulai mengajarkan ajaran Islam secara tertutup kepada para sahabatnya. Setelah tiga tahun menyebarkan Islam secara sembunyi-sembunyi, akhirnya ajaran Islam kemudian juga disampaikan secara terbuka kepada seluruh penduduk Mekkah, yang mana sebagian menerima dan sebagian lainnya menentangnya.

Pada tahun 622 masehi, Muhammad dan pengikutnya berpindah ke Madinah. Peristiwa ini disebut Hijrah, dan semenjak peristiwa itulah dasar permulaan perhitungan kalender Islam. Di Madinah, Muhammad dapat menyatukan orang-orang anshar (kaum muslimin dari Madinah) dan muhajirin (kaum muslimin dari Mekkah), sehingga semakin kuatlah umat Islam. Dalam setiap peperangan yang dilakukan melawan orang-orang kafir, umat Islam selalu mendapatkan kemenangan. Dalam fase awal ini, tak terhindarkan terjadinya perang antara Mekkah dan Madinah.

Keunggulan diplomasi nabi Muhammad SAW pada saat perjanjian Hudaibiyah, menyebabkan umat Islam memasuki fase yang sangat menentukan. Banyak penduduk Mekkah yang sebelumnya menjadi musuh kemudian berbalik memeluk Islam, sehingga ketika penaklukan kota Mekkah oleh umat Islam tidak terjadi pertumpahan darah. Ketika Muhammad wafat, hampir seluruh Jazirah Arab telah memeluk agama Islam.

Khalifah Rasyidin

Khalifah Rasyidin atau Khulafaur Rasyidin memilki arti pemimpin yang baik diawali dengan kepemimpinan Abu Bakar, dan dilanjutkan oleh kepemimpinan Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib. Pada masa ini umat Islam mencapai kestabilan politik dan ekonomi. Abu Bakar memperkuat dasar-dasar kenegaraan umat Islam dan mengatasi pemberontakan beberapa suku-suku Arab yang terjadi setelah meninggalnya Muhammad. Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib berhasil memimpin balatentara dan kaum Muslimin pada umumnya untuk mendakwahkan Islam, terutama ke Syam, Mesir, dan Irak. Dengan takluknya negeri-negeri tersebut, banyak harta rampasan perang dan wilayah kekuasaan yang dapat diraih oleh umat Islam.

Masa kekhalifahan selanjutnya

Setelah periode Khalifah Rasyidin, kepemimpinan umat Islam berganti dari tangan ke tangan dengan pemimpinnya yang juga disebut "khalifah", atau terkadang "amirul mukminin", "sultan", dan sebagainya. Pada periode ini khalifah tidak lagi ditentukan berdasarkan orang yang terbaik di kalangan umat Islam, melainkan secara turun-temurun dalam satu dinasti (bahasa Arab: bani) sehingga banyak yang menyamakannya dengan kerajaan; misalnya kekhalifahan Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah, hingga Bani Utsmaniyyah.

Besarnya kekuasaan kekhalifahan Islam telah menjadikannya salah satu kekuatan politik yang terkuat dan terbesar di dunia pada saat itu. Timbulnya tempat-tempat pembelajaran ilmu-ilmu agama, filsafat, sains, dan tata bahasa Arab di berbagai wilayah dunia Islam telah mewujudkan satu kontinuitas kebudayaan Islam yang agung. Banyak ahli-ahli ilmu pengetahuan bermunculan dari berbagai negeri-negeri Islam, terutamanya pada zaman keemasan Islam sekitar abad ke-7 sampai abad ke-13 masehi.

Luasnya wilayah penyebaran agama Islam dan terpecahnya kekuasaan kekhalifahan yang sudah dimulai sejak abad ke-8, menyebabkan munculnya berbagai otoritas-otoritas kekuasaan terpisah yang berbentuk "kesultanan"; misalnya Kesultanan Safawi, Kesultanan Turki Seljuk, Kesultanan Mughal, Kesultanan Samudera Pasai dan Kesultanan Malaka, yang telah menjadi kesultanan-kesultanan yang memiliki kekuasaan yang kuat dan terkenal di dunia. Meskipun memiliki kekuasaan terpisah, kesultanan-kesultanan tersebut secara nominal masih menghormati dan menganggap diri mereka bagian dari kekhalifahan Islam.

Pada kurun ke-18 dan ke-19 masehi, banyak kawasan-kawasan Islam jatuh ke tangan penjajah Eropa. Kesultanan Utsmaniyyah (Kerajaan Ottoman) yang secara nominal dianggap sebagai kekhalifahan Islam terakhir, akhirnya tumbang selepas Perang Dunia I. Kerajaan ottoman pada saat itu dipimpin oleh Sultan Muhammad V. Karena dianggap kurang tegas oleh kaum pemuda Turki yang di pimpin oleh mustafa kemal pasha atau kemal attaturk, sistem kerajaan dirombak dan diganti menjadi republik.

Demografi

Saat ini diperkirakan terdapat antara 1.250 juta hingga 1,4 milyar umat Muslim yang tersebar di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut sekitar 18% hidup di negara-negara Arab, 20% di Afrika, 20% di Asia Tenggara, 30% di Asia Selatan yakni Pakistan, India dan Bangladesh. Populasi Muslim terbesar dalam satu negara dapat dijumpai di Indonesia. Populasi Muslim juga dapat ditemukan dalam jumlah yang signifikan di Republik Rakyat Cina, Amerika Serikat, Eropa, Asia Tengah, dan Rusia.

Pertumbuhan Muslim sendiri diyakini mencapai 2,9% per tahun, sementara pertumbuhan penduduk dunia hanya mencapai 2,3%. Besaran ini menjadikan Islam sebagai agama dengan pertumbuhan pemeluk yang tergolong cepat di dunia. [1]. Beberapa pendapat menghubungkan pertumbuhan ini dengan tingginya angka kelahiran di banyak negara Islam (enam dari sepuluh negara di dunia dengan angka kelahiran tertinggi di dunia adalah negara dengan mayoritas Muslim [2]. Namun belum lama ini, sebuah studi demografi telah menyatakan bahwa angka kelahiran negara Muslim menurun hingga ke tingkat negara Barat. [3]

Tempat ibadah

Rumah ibadat umat Muslim disebut masjid atau mesjid. Ibadah yang biasa dilakukan di Masjid antara lain shalat berjama'ah, ceramah agama, perayaan hari besar, diskusi agama, belajar mengaji (membaca Al-Qur'an) dan lain sebagainya.

Lihat pula

Topik Islam
Akidah Haji | Puasa | Syahadat | Shalat | Zakat | Tauhid
Tokoh Islam Muhammad | Nabi-nabi | Ahlul Bait | Sahabat
Teks dan peraturan Al Qur'an | Fiqih | Hadist | Kalam | Sirah | Syari'ah
Aliran Sunni: Hanafi, Hambali, Maliki, Syafi'i | Syi'ah: Dua Belas Imam, Ismailiyah, Zaidiyah | Lain-lain: Ibadi, Khawarij, Murji'ah, Mu'taziliyah
Gerakan Islam Hizbut Tahrir | Ikhwanul Muslimin | Sufisme | Wahhabi | Salafiyah
Negara Islam di Afrika: Aljazair, Chad, Djibouti, Guinea, Libya, Mali, Mauritania, Maroko, Mesir, Nigeria, Sahara, Somalia, Senegal, Sudan, Tunisia | di Asia: Afganistan, Arab Saudi, Azerbaijan, Bahrain, Bangladesh, Brunei, Indonesia, Irak, Iran, Kirgizstan, Kuwait, Malaysia, Maladewa, Lebanon, Oman, Pakistan, Suriah, Tajikistan, Turkmenistan, Uzbekistan, Uni Emirat Arab | di Eropa: Albania, Bosnia-Herzegovina, Kosovo, Turki
Lainnya Indeks artikel tentang Islam

Catatan Kaki

  1. ^ Islam Basics: About Islam and American Muslim, Council on American-Islamic Relations (CAIR), Copyright © 2007.
  2. ^ Religions & Ethics: Islam at a glance, BBC - homepage, © MMVII.
  3. ^ Major Religions of the World—Ranked by Number of Adherents. (HTML) Diakses pada 3 Juli 2007
  4. ^ USC-MSA Compendium of Muslim Texts
  5. ^ L. Gardet; J. Jomier "Islam". Encyclopaedia of Islam Online. Retrieved on 2007-05-02.
  6. ^ Lane's lexicon. Diakses pada 3 Juli 2007
  7. ^ Al-Qur'an 6:125, Al-Qur'an 61:7, Al-Qur'an 39:22
  8. ^ Al-Qur'an 5:3, Al-Qur'an 3:19, Al-Qur'an 3:83
  9. ^ Lihat:
  10. ^ Lihat:
  11. ^ Lihat:
    • Accad (2003):According to Ibn Taymiya, although only some Muslims accept the textual veracity of the entire Bible, most Muslims will grant the veracity of most of it.
    • Esposito (1998), pp.6,12
    • Esposito (2002b), pp.4–5
    • F. E. Peters (2003), p.9
    • F. Buhl; A. T. Welch "Muhammad". Encyclopedia of Islam Online. Retrieved on 2007-05-02.
    • Hava Lazarus-Yafeh "Tahrif". Encyclopedia of Islam Online. Retrieved on 2007-05-02.
  12. ^ Lihat:
  13. ^ Lihat:
  14. ^ Surah Yunus 10:72 "...dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (Muslim)."
  15. ^ Lihat:
    • Esposito (2002b), p.21
    • Esposito (2004), pp.2,43
  16. ^ Lihat Demografi Islam
  17. ^ Esposito (2002b), p.17
  18. ^ Lihat:
    • Esposito (2002b), pp.111,112,118
    • "Shari'ah". Encyclopaedia Britannica Online. Retrieved on 2007-05-02.
  19. ^ Lihat:
    • Esposito (2002b), p.21
    • Esposito (2004), pp.2,43
  20. ^ Lihat [[Demografi Islam|]]
  21. ^ Lihat:
    • "Islam and Christianity", Encyclopedia of Christianity (2001): Arabic-speaking Christians and Jews also refer to God as Allāh.
    • L. Gardet "Allah". Encyclopaedia of Islam Online. Retrieved on 2007-05-02.
  22. ^ Al-Qaththan, Syaikh Manna' Khalil. Mahabits fi 'Ulum Al-Qur'an (Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an), Pustaka Al-Kautsar, 2006, Jakarta.
  23. ^ Nasr, Seyyed Hossein (2007). "Qur’an". Encyclopedia Britannica Online. Retrieved on 2007-11-4.

Daftar pustaka

Buku dan jurnal

Ensiklopedia

  • Berkshire Encyclopedia of World History. (2005). Ed. William H. McNeill, Jerry H. Bentley, David Christian. Berkshire Publishing Group. ISBN 978-0-9743091-0-1.
  • Catholic Encyclopedia. (1910). Ed. Gabriel Oussani.
  • The Columbia Encyclopedia (6th). (2000). Ed. Paul Lagasse, Lora Goldman, Archie Hobson, Susan R. Norton. Gale Group. ISBN 978-1-59339-236-9.
  • Encyclopaedia Britannica Online. Encyclopaedia Britannica, Inc..
  • Encyclopedia of Christianity (1st). (2001). Ed. Erwin Fahlbusch, William Geoffrey Bromiley. Eerdmans Publishing Company, and Brill. ISBN 0-8028-2414-5.
  • Encyclopedia of Christianity (1st). (2005). Ed. John Bowden. Oxford University Press. ISBN 0-19-522393-4.
  • Encyclopedia of the Future. (1995). Ed. George Thomas Kurian, Graham T. T. Molitor. MacMillan Reference Books. ISBN 978-0-02-897205-3.
  • Encyclopaedia of Islam Online. Ed. P.J. Bearman, Th. Bianquis, C.E. Bosworth, E. van Donzel, W.P. Heinrichs. Brill Academic Publishers. ISSN 1573-3912.
  • Encyclopedia of Islam and the Muslim World. (2003). Ed. Richard C. Martin, Said Amir Arjomand, Marcia Hermansen, Abdulkader Tayob, Rochelle Davis, John Obert Voll. MacMillan Reference Books. ISBN 978-0-02-865603-8.
  • Encyclopaedia of the Qur'an Online. Ed. Jane Dammen McAuliffe. Brill Academic Publishers.
  • Encyclopedia of Religion (2nd). (2005). Ed. Lindsay Jones. MacMillan Reference Books. ISBN 978-0-02-865733-2.
  • Encyclopedia of Religious Rites, Rituals, and Festivals (1st). (2004). Ed. Salamone Frank. Routledge. ISBN 978-0-415-94180-8.
  • The Encyclopedia of World History Online (6th). (2000). Ed. Peter N. Stearns. Bartleby.
  • Medieval Islamic Civilization: An Encyclopedia. (2005). Ed. Josef W. Meri. Routledge. ISBN 0-415-96690-6.
  • Merriam-Webster's Encyclopedia of World Religions. (1999). Ed. Wendy Doniger. Merriam-Webster. ISBN 0-87779-044-2.
  • New Encyclopedia of Islam: A Revised Edition of the Concise Encyclopedia of Islam. (2003). Ed. Glasse Cyril. AltaMira Press. ISSN 978-0759101906.
  • Routledge Encyclopedia of Philosophy (1st). (1998). Ed. Edward Craig. Routledge. ISBN 978-0-415-07310-3.

Bacaan lebih lanjut



posted by gunawan

sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Islam